KAJIAN DALIL NIKAH SIRRI
SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974
SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974
PENDAHULUAN
Sudah merupakan hukum
alam atau sunatullah bahwa kehidupan mahluk hidup
yang ada di dunia untuk saling berpasang - pasangan.
Agar terwujud pasangan yang harmionis penuh dengan rasa saling mencintai dan
menyayangi (Qs:30;21). Sebuah keluarga dibentuk melalaui perkawinan dalam
rangka mentaati perintah Allah dan rasulNya “Perkawinan sebagai ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dilaksanakan
sesuai agama dan keyakinan yang dianutnya”.(UU No 1. Tahun 1974 pasal 1) .
Pernikahan adalah perilaku yang
sakral sebagai suatu janji setia untuk saling berbagi dalam suka ataupun duka
karena itu pernikahan diawali dengan ijab dan kabul. Ijab berarti ungkapan
kerelaan seorang wali untuk melepas anaknya kepada seseorang yang dipercaya
bisa menjadi pelindung, pengayom dan juga pembibing bagi anak perempuanya
sedangkana kabul berati ungkapan kesiapan seorang Laki laki untuk menjadi
pemimpin dalam rumah tangga dengan
cara-cara yang diridhoi oleh Allah.
Pernikahan bagi
warga Negara Indonesia yang memeluk agama Islam di Indonesia telah diatur oleh Undang Undang No. 22 tahun
1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk yang penetapannya berdasarkan UU
no 32 tahun 1954 jo
undang undang no 1 tahun 1974 tentang
perkawinan yang UU. Dan sejak
ditetapkannya Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pemberlakuan UU
no 1 tahun 1974 maka pencatatan nikah menjadi sesuatu yang wajib dalam pernikahan. Namun kenyataan dilapangan
menunjukkan bahwa seringkali masyarakat muslim di Indonesia melakukan
pernikahan yang tidak sebagimana diatur dalam undang undang Ini berarti bahwa ada 2 (dua) ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu : (1) Hukum Islam sesuai
dengan keyakinan yang dimilikinya dan (2) Hukum Islam dalam Perundang Undangan.
Dalam Hukum
Islam sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya atau fiqh munakahat atau fiqh
yang mengatur pernikahan banyak terjadi perbedaan pendapat, Mengeluarkan
pendapat yang berbeda dalam fatwa masih dimungkinkan, tetapi memutuskan perkara
dengan pendapat yang berbeda sangat menyulitkan dan menimbulkan ketidak pastian
hukum (Syarifuddin: 2007,21)
Nikah sirri atau
nikah dibawah tangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan
saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KBBI; 2010), Pengertian diatas berbeda ketika dikembalikan
kepada arti asal nikah sirri dalam kajian ilmu fiqh. Dalam kajian fiqh terdapat
perbedaan dalam mengartikannya yang intinya adalah pernikahan yang mana suami berpesan kepada
saksi agar menyembunyikan perihal pernikahannya kepada istri dan masyarakat bahkan
termasuk keluarganya (Az Zuhaili: 7;71). Dalam hukum positif tidak mengenal
nikah sirri dan juga tidak mengenal nikah di bawah tangan,
UUD 1945 telah
menjamin kebebasan warganya dalam melaksanakan ajaran agama dan beribadat sesuai agama dan keyakinannya (pasal 29 ayat
(2)) namun kebebasan ini telah dibatasai oleh UU No.1 tahun 1974 yang mengatur
perkawinan dengan untuk tujuan ketertiban administrasi kependudukan yang harus
ditaati oleh seluruh warga negara Indonesia sebagaimana dalam pasal 27 UUD 1945
ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan dan wadjib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”
Nikah sirri
oleh sebagian masyarakat Indonesia dianggap sah karena, menurut mereka telah
sesuai dengan Syariat Islam. Dalam syariat tidaklah mungkin terjadi perbedaan
pendapat karena syariat adalah ketentuan dari Allah dan Rosulnya karena itu
bersifat abadi dan berlaku untuk selama lamanya (Daud Ali: 1990: 51), disamping
itu Syriat juga tidak secara mendetail membahas tentang syarat dan rukun
pernikahan. Syarat dan rukun pernikahan merupakan domain dari ilmu fiqh, sementara
kita tahu bahwa dalam hal syarat dan rukun
nikah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, dalam Madzhab
syafi’i saja hukum yang terkait masalah nikah terjadi perbedaaan yang beragam
apalagi kalau ditarik keluar madzhab pasti akan terjadi banyak perbedaan
pendapat (Syarifuddin: 2007: 22). Artinya hukum Keabsahan nikah
bukan bagian dari Syariat semata tetapi sudah menjurus kearah fiqh yang dikenal
dengan Fiqh Munakahat. Dengan mengacu pada maqasidur
syar,i dan dasar dasar untuk melakukan ijtihad dalam beristimbat suatu hukum.
Ketidak pastian
status hukum bagi anak yang lahir dari nikah sirri dan status hukum bagi wanita
itu sendiri, telah menimbulkan kerusakan (mafsadat) baginya. Pada saat
yang sama ulama’ sepakat bahwa tujuan dari syariah (al maqosid as Syar’iyah )
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menjauhi kerusakan (Jalb al masalih wa daf’ul mafasid). Menjadi patut
dipertanyakan kembali apabila ada penerapan fiqh yang merupakan produk mujtahid
masa lalu yang berbeda konsi sosial politiknya tetap menjadi pegangan saat
sekarang yang ternyata berbeda dan bahakan menyalahi ketentuan syariat Islam
itu sendiri.
PEMBAHASAN
1)
PENGERTIAN
NIKAH DAN NIKAH SIRRI
Imam
at Taqyuddin (kifayah al ahyar: 2,36)
واختلف العلماء في أنه حقيقة فيما ذا على أوجه حكاها القاضي حسين أحدها أنه
حقيقة في الوطء مجاز في العقد والثاني أنه
حقيقة في العقد مجاز في الوطء وهذا هو الصحيح وصححه القاضي أبو الطيب وأطنب في
الاستدلال له وبه قطع المتولي وغيره وبه جاء القرآن العظيم والسنة قال الله تعالى
{ فانكحوا ما طاب لكم من النساء } وغيرها من الآيات وقال عليه الصلاة والسلام )انكحوا الولود ) وغيره من الحديث والثالث أنه حقيقة فيهما بلا اشتراك
“Al
Qodhi abu Husaian meriwayatkan
“Ulama berbeda pendapat tentang arti nikah yang hakiki (sebenarnya) yaitu : 1. Nikah
arti sesungguhnya adalah hubungan kelamin dan secara majazinya adalah akad 2. Nikah arti
sesungguhnya adalah akad dan secara
majazinya adalah berkumpul dan ini yang
dibenarkan oleh abu thoyib dan dia dia telah membahasnya secara panjang lebar
disertai dalil – dalilnya dan ini juga
yang telah diyakinkan oleh imam al mutawali dan lainnya sebagai mana ayat “dan
nikahilah (akad nikahilah) wanita wanita yang baik bagimu” serta ayat ayat
lainnya dan hadits nabi “nikahilah (akad nikahilah) wanita wanita yang
banyak anaknya” dan hadis lainnya 3.
Nikah arti sesungguhnya adalah akad dan
juga bersetubuh tanpa ada arti ganda lagi”
Pada pengertian diatas lebih cenderung
mengartikan Nikah dengan akad sebagaimana pada point 2 (dua) yaitu “Nikah arti
sesungguhnya adalah akad dan secara
majazinya adalah hubungan kelamin”. Sedangkan kata “nikah” yang berarti
hubungan kelamin banyak diungkapkan oleh ulama’ hanafiyah sebagaiaman
diungkapakan oleh Zainuddin Ibn An najim
al hanafi ( Baḥr al Rõiq, 3, 82)
النِّكَاحُ فِي اللُّغَةِ حَقِيقَةٌ فِي الْوَطْءِ هُوَ
الصَّحِيحُ وَهُوَ مَجَازٌ فِي الْعَقْدِ لِأَنَّ الْعَقْدَ يُتَوَصَّلُ بِهِ إلَى
الْوَطْءِ فَسُمِّيَ نِكَاحًا كَمَا سُمِّيَ الْكَأْسُ خَمْرًا وَالدَّلِيلُ عَلَى
أَنَّ الْحَقِيقَةَ فِيهِ الْوَطْءُ قَوْله تَعَالَى { وَلَا تَنْكِحُوا مَا
نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنْ النِّسَاءِ } وَالْمُرَادُ بِهِ الْوَطْءُ لِأَنَّ
الْأَمَةَ إذَا وَطِئَهَا الْأَبُ حُرِّمَتْ عَلَى الِابْنِ وَكَذَلِكَ قَوْله
تَعَالَى { الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً
“Nikah menurut
bahasa adalah bersetubuh (hubungan kelamin) secara hakiki dan ini (pendapat yang Shohih) dan (diartikan
akad) dalah arti majazinya karena akad hanya akan menjadi penghantar bolehnya
hubungan sebagaimana gelas (yang berisi) arak dinamakan arak dengan alasan
“janganlah kamu menikahi wanita wanita yang pernah nikahi ayahmu) maksudnya
adalah menyetubuhi karena seorang wanita budak yang pernah disetubuhi seorang
ayah maka haram hukumnya disetubuhi oleh anaknya begitu juga ayat “ seorang
wanita pezina hanya akan disetubuhi oleh lelaki pezina”
Sedangkan
arti nikah dalam istilah sebagaimana dalam beberapa pengertian yang ada dalam
kitab klasik adalah sebagaimana disampaikan oleh Az zakariya
(Asnal al Matholib: 3 : 98) adalah “
وَشَرْعًا عَقْدٌ
يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ إنْكَاحٍ أو تَزْوِيجٍ أو تَرْجَمَتِهِ
“(Nikah) menurut syara’
akad atau perjanjian yang memgandung maksud bolehnyanya melakukan hubungan
kelamin dengan menggunakan kata nikah atau tazwij atau yang sema’na”
Dalam dalam UU no 1 tahun 1974 pasal 1 dinyatakan “Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Kata “sirri” yang melekat setelah kata nikah berasal dari bahasa
arab yang berarti Menyimpan (al Munawir: tt: 625) dan ketika Nikah yang
disatukan dengan Sirri menjadi nikah sirri atau disebut juga nikah dibawah
tangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pernikahan
yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan
Agama (KBBI; 2010), Pengertian diatas berbeda
ketika dikembalikan kepada arti “nikah
sirri” dalam kajian ilmu fiqh. Dalam kajian fiqh terdapat perbedaan dalam
mengartikannya nikah sirri namun intinya
adalah pernikahan yang mana suami
berpesan kepada saksi agar menyembunyikan perihal pernikahannya kepada istri
dan masyarakat bahkan termasuk keluarganya (Az Zuhaili: 7;71)
2)
KETENTUAN
UMUM TENTANG NIKAH DALAM PERUNDANG UNDANGAN
A)
Perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah (PPN)
Dalam
perundang undangan disebutkan :
·
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. ( UU no 1 tahun 1974, pasal 2 ayat (2))
·
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
Pencatatan perkawinan dilakukan
oleh Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) (KHI pasal.5)
·
Pegawai
Pencatat Nikah atau PPN adalah pejabat
yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa
nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat,dan melakukan bimbingan
perkawinan.
·
PPN
dijabat oleh Kepala KUA dan dalam melaksanakan tugasnya dapat diwakili oleh
Penghulu atau Pembantu PPN (PMA 11 tahun
2007 pasal 2 dan 3)
·
Pelaksana
wali hakim adalah kepala KUA (pasal 1 . PMA no.30 tahun 2005 jo PMA 11 tahun
2007 pasal 18 ayat 4)
Perkawinan merupakan
bagian dari fiqh mu’malah karena
itu menuntut adanya administrasi sebagaimana dijelaskan
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.”.
Dalam
ilmu ushul terdapat ketentuan al asl fil amri lil wujub[1],
pada ayat diatas terdapat perintah untuk menulis serta alasan alasan perlunya
catatan bagi akad mu’amalah yang tidak
tunai ditulis oleh ahlinya, bila dilihat materiilnya transaksi mu’amalah yang tidak tunai dianjurkan untuk ditulis karena terkait adanya
kemungkinan ingkar dari salah satu pihak dan sedangkan akad nikah terkait
dengan nasib, nasab dan juga waris, dalam kondisi masayarakat saat ini yang
mudah sekali untuk melakukan kebohongan maka administrasi adalah sebuah
kewajiban dan saat ini transaksi tidak diakui apabila tidak ada bukti tertulis
dari ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan disyahkan oleh yang berwenang,
maka pencatatan akad nikah bisa
dianologikan dengan pecatatan pada transaksi mu’amalah.
Saat
ini kepastian hukum adalah sesuatu yang mutlak diperlukan, dan sudah menjadi
kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada semua warganya.
Ketidak pastian hukum menimbulkan kondisi keresahan, karena dengan ketentuan UU
No 1 tahun 1974 pencatatan nikah adalah sesuatu yang wajib dan akad nikah tanpa
dicatat berati meninggalakan satu kewajiban
yang ada. dan sah tidaknya suatu
perbuatan tergantung pada terpenuhi dan tidaknya syarat rukun yang dalam kaidah
dikatakan
ما يتم الواجب الا به فهو واجب artinya Segala sesuatu yang kesempurnaaanya bergantung kepada satu
perkara, maka melaksanakan perkara itu
hukumnya adalah wajib dan selama masih
jangkauan kemampuan manusian dan juga memang diperintahkan.[2]
Tujuan
nikah sebagaimana dalam perngertian diatas adalah dalam rangka membina rumah
tangga yang sakinah, lalu bagaiaman sebuah tujuan mulia didasari dengan ketidak
pastian, dalam prakteknya nikah sirri yang terjadi di Indonesia karena
bermasalah.
B)
Dasar – dasar Perkawinan Adalah :
a)
Persetujuan dari kedua calon mempelai (UU. 1974, pasal 6 (1))
Unsur Persetujuan atau kerelaan dalam
setiap transaksi adalah wajib karena segala setua harus terjadi atas
persetujuan kedua belah pihak sebagaiaman diisyaratkan adanya ketentuan saling rela
dalam bermu’amalah
sebagaimana ayat
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. An
Nisa’ ; 29 “
b)
Memenuhi
Ketentuan Usia Nikah
yaitu : apabila
kurang dari 21 tahun harus ada ijin dari orang tua baik tertulis atupun lesan
(pasal 6 UU no 1 tahun 1974 ayat 2), apabila calon suami kurang dari 19 tahun
dan atau calon istri kurang dari 16 tahun harus ada dispensasi pengadilan (UU 1974
pasal 7)
Perkawinan
adalah dalam membentuk keluarga yang bahagia, dan bahagia ( KBBI: 2010) berarti
keadaan atau perasaan senang dan tenteram bebas dr segala yg
menyusahkan. Rumah
tangga dibangun dengan persiapan moral dan materiil. Sesorang setelah
menyatakan “qobiltu” maka pada saat yang
sama dia juga harus siap memberikan kebutuhan rumah tangganya baik tempat,
pakain dan juga bimbingan keagamaan bagi
pasangannya sebagaimana diatur dalam hak hak suami dan istri. Tujuan diatas
hanya bisa dipenuhi oleh orang yang sudah dewasa atau baligh, seseorang yang
belum baligh dalam dunia kerja belum diperbolehkan untuk bekerja lalu
bagaiamana seseorang yang belum baligh akan bisa memenuhi kebutuhan rumah
tangga?
Batasan usia baligh dalam
ketentuan fiqh berbeda beda, Menurut Imam Hanafi batasan baligh adalah 18 tahun
untuk laki laki dan 17 tahun untuk perempuan, sedangkan menurut imam malik
adalah 18 tahun bagi laki laki ataupun perempuan atau 18 jalan sedangkan
menurut imam Syafi’i adalah 15 tahun atau sudah berihtilam (mimpi basah) bagi
laki dan haidl bagi perempuan (lihat keterangan dari Wahbah Az Zuhaily: 1995:
4: 122). Sedangkan dalam undang undang juga terdapat pernyataan yang berbeda
terkait ketentuan usia dewasa, dalam ketentuan Hukum Perdata dewasa adalah 21 tahun dan dalam UU ketenagakerjaan dewasa
adalah 18 tahun yang kesemuanya merujuk pada kemempuan akal.
Dalam UU tahun 1974 ketentuan
usia dilakukan secara bertingkat bila kurang dari 19 (untuk Calon Suami) dan 16
(untuk Calon Istri) tahun harus ada dispensasi Pengadilan dan bila Kurang dari
21 tahun harus ada ijin dari orang tua, ini berarti bahwa dalam ketentuan yang
ada dalam UU pernikahanan tersebut dalam rangka untuk kebahagian yang
bersangkutan dan sudah menjadi kewajiban
pemerintah pula untuk membuat aturan yang mendorong terlaksananya tujusn nikah karena adanya kaidah fiqhiyah (As
Suyuti: 121)
تصرف
الإمام على الرعية منوط بالمصلحة هذه القاعدة نص عليها الشافعي وقال منزلة
الإمام من الرعية منزلة الولي من اليتيم
“Kebijakan
Pemerintah berdasarkan kemaslahatan rakyatnya dan kaidahi ini disampiakan oleh as syafi’i dan beliau juga
mengatakan kedudukan pemerintah sama dengan kedudukan wali bagi anak yatim”
C)
ANALISIS
KAJIAN DALIL TENTANG NIKAH SIRRI
Sebagai pijakan awal dalam
analisis ini penulis sajikan ucapan Imam Asy
Syafii yang di Nukil Oleh Ad Dahlawi dalam al insof nya ( 1404 H: 81)
الأصل قرآن وسنة فان لم يكن فقياس
عليهما وإذا اتصل الحديث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم وصح الإسناد منه فهو
سنة والاجماع أكبر من الخبر المفرد والحديث على ظاهره
وإذا احتمل المعاني فما أشبه منها ظاهره أولاها به وإذا تكافأت الأحاديث فأصحها
إسنادا أولاها وليس المنقطع بشيء ما عدا منقطع ابن المسيب ولا يقاس أصل على أصل
ولا يقال للأصل لم وكيف وإنما يقال للفرع لم فاذا صح قياسه على الأصل صح وقامت به
الحجة انتهى
“(dalil) Asal adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila tidak ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia
melakukan qiyas terhadap keduanya. Apabila hadits telah muttashil dan sanadnya
shahih itulah yang dinamakan As sunnah,dan ijma lebih diutamakan dari pada
hadits mufrod, suatu hadis apabila mengandung beberapa arti maka yang bernakna
dhohir lebih diutamakan, apabila ada beberapa hadits maka yang lebih shohih
isnadnya adalah yang diutamakan, ia menolak hadits munqathi’ kecuali yang
diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab,
pokok (asal) tidak boleh dianalogikan kepada pokok; bagi pokok tidak
perlu dipertanyakan “mengapa” dan “bagaimana” (lima wa kaifa); yang(patut) dipertanyakan adalah pada cabang “kenapa?” dan jika cara menganalogi itu benar maka bisa
dijadikan hujjah
Pernikahan
sirri di Indonesia sejak ditetapkaan UU No 1 tahun 1974 tidak sesuai dengan
syariat Islam karena :
1.
Bertentangan Dengan Ketentuan Pemerintah
“Hai orang-orang yang beriman,
ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. An Nisa’
; 59”
Tidak dapat dipungkiri bahwa terjadi perbedaan penafsiran tentang
siapa yang dimaksud dengan “Ulul Amri”
Abu al hasan al Mawardi dalam Bukunya al hawi al kabir
menjelaskana bahwa ma’na ulil amri
ada 3 yaitu : (1) pemerintah dan ini pendapatnya Ibn Abas (2) Para Ulama’ ini pendapatnya Jabir dan (3) para
sahabat, dan ini pendapatnnya Mujahid (
lihat penafsiran Ulil Amri dalam beberapa kutab Tafsir diantaranya adalah tafsir
al hawi Al kabir:9:15)
Selanjutnya Wahbah zuhailai dalam Fiqh islam wa adilatuh hal. 274 Juz 8
tentang Nidham al hukm fi Islam dengan
mengutip pernyaatan dari al Mawardi (al
Ahkam as Suthaniyah wal Wilayah) mengatakan wajib bagi kita orang islam
untuk patuh kepada ulil amri yaitu orang orang yang memimpin kita
Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan UU no tahun 1974
tertang perkawinan, maka semua pernikahan yang terjadi di Indonesi harus
dicatat oleh pegawai pencatat nikah (PPN) sesuai dengan undang undang tersebut,
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa pencatatatan adalah wajib bukan anjuran yang
harus dilaksanakan oleh setiap warga negara Indonesia sehingga ketentuan ini
tidak bisa dimaknai hukum lain selain wajib.
Kenyataan bahwa Negara menjamin rakyatnya untuk beribadah sesuai
agama yang keyakinannya (pasal 29 UUD 1945) ini menjadi dibatasi oleh UUD
1945 pasal 27 yang menyatakan setiap
warga Negara sama dalam hukum, dan
Pernikahan adalah bagian dari mu’amalah yang ketentuanya telah diatur oleh
UU no 1 tahun 1974 beserta perangkatnya melalui Peraturan Perundang
undangan maupun Keputusan Menteri Agama
2.
Betentangan Dengan Dalil maslahah
Maslahah atau
ada yang menyebutnya Maslahah Mursalah adalah Suatu kemaslahatan yang tidak
disyariatkan dan tidak ditentukan hukumnya oleh Syar’i dan tidak ada dalil
syara’ yang menyuruh atau menentangnya (al Kholaf: tt : 84)
Sebagaimana
dijelaskan dalam ketentuan diatas bahwa
tujuan pencatatan nikah adalah dalam ketertertiban perkawinan,. Para ulama sepakat
bahwa tujuan adanya syariat bagi manusia adalah dalam rangka “jalbu al
maslahah dan daf’ul mafsadah” mengambil maslahah dan menjauhi mafsadah.
Adapaun Maslahah berari memelihara dan
mengamankan 5 hal yaitu Agama, jiwa, akal,keturunan dan harta karena denngan lima unsur inilah selalu
dikaitkan dengan tujuan hidup manusian di Dunia. (Abu Zahroh. 278)
Berbeda
dengan pengertian diatas. Menurut al-Thufi (Najmudin Ath Thufi) , maslahah
merupakan dalil syar’i yang bersifat mandiri dan tidak begantung pada nash artinya
bukan sebagai manhaj tetapi sebagai masdar atau sumber hukum yang berdiri
sendiri, Bahkan jika terjadi kontradiksi antara nash dengan maslahah, oleh
ath-Thufi maslahah lebih didahulukan mengacu pada tujuan / maqasid tasri’
adalah untuk mewujudkan kebaikan atau terbaik bagi manusia dan menolak
kerusakan pandangan ini bertolak dari pemahaman hadit “la dzarar wa la
dhiror”[3] Oleh karena itu, maslāhah mursālah
merupakan bagian dari syariat yang tidak boleh dikesampingkan. Meskipun ia
tidak disebutkan dalam nash secara tekstual, tapi secara substansial ia
dibutuhkan manusia, lebih-lebih yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan
pokok mereka.
Pernikahan
sirri di Indonesia menimbulkan ketidak pastian hukum bagi pelakunya dan menyulitkan
administrasi bagi pemerintahan juga tidak diakuinya oleh Negara berarti ini
menimbulkan madhorat yang harus dijauhi sebagaimana dalil diatas.
3.
Bertentangan
Dengan Kaidah Dar’ul Mafasid aula min
Jalbil Masolih
Kaidah
ini bermula karena terjadinya dua
kepentingan yang saling menghendaki untuk dilakukan. Apabila terjadi dua kepentingan
yaitu untuk kemaslahan dan kerusakan maka didahulukan menjauhi kerusakan
(As Suyuti: 87) dengan merujuk pada hadist nabi “Jika akau memerintahkan sesuatu kepadamu
maka laksanakanlah semampumu dan jika aka melarangmu maka jauhillah”[4]
Dalam
Kasus pernikahan sirri yang terjadi di Indonesia setelah ditetapkanya UU No 1
tahun 1974 berarti juga terjadi dua
kepentingan 1). Bisa mengumpuli wanita yang telah dinikah sirri dan terhindar dari perilaku zina dan 2). Akan terjadi ketidak pastian status
hukum utamanya bagi perempuan dan anak yang akan dilahirkan. Pada kasus nikah
sirri alasan yang klasik adalah menghindari perbuatan zina dan ini berarti
menarik manfaatnya, tetapi akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar
bahwasanya seorang wanita selaku pihak yang dirugikan akan kesulitan untuk
meminta cerai apabila diperlakukan tidak adail karena syarat utama pengajuan
perceraian adalah Buku nikah atau duplikat nikah yang tidak dimiliki oleh
pelaku nikah sirri. Serta ketidak jelasan status anaknya dalam administrasi
kependudukan yang berlaku di Indonesia
4.
Taghayur Al Ahkam
Bitaghayur Al Amkinah Wal Azminah (Perubahan
Hukum Karena Adanya Perubahan Ruang Dan Waktu)
Para
ulama (termasuk diantaranya Adalah Izzudin
abdus salam, Al Qorofi, Ibnul Qoyim dll) tidak mengingkari bahwa satu
hukum atau fatwa bisa berubah karena
perubahan budaya, adat dan waktu atau lainnya yang bisa mempengaruhi
hukum, tetapi mereka sepkat bahwa perubahan itu bukan pada hukm syar’inya,
hukum syar;i tidak mungkin berubah mereka mencontohkan kewajiban memberi
nafakoh bagi istri (dulu) hanya makan dan pakaian saja karena demikianlah
kebutahan wanita ketika itu, tapi saat sekarang
hal itu tidak cukup dan yang menjadi pegangan dalam hal ini adalah
budaya dan kebiasaan suatu negara (as Salami:tt.323-3234)
Pemerintah
Indonesia telah menerbitkan UU no 1 tahun 1974 sebagai fiqh munakahat Indonesia
artinya pernikahan yang terjadi di
Indonesia harus diselaraskan dengan ketentuan , budaya dan adat istiadat yang
telah di bangun oleh pemerintah dalam rangka memenuhi kewajiban kepada
rakyatnya.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapatlah ditarik benang merahnya sebagai
simpulan dari kajian ini yaitu : Pertama : Pernikahan merupakan perilaku
yang mulia dalam rangka mengikuti sunnah Nabi SAW dan melanggengkan keturunan
manusia, ketentuan tentang nikah secara umum telah diatur dalam nash sehingga
Syarita Islam selalu Sholihatun likulli makan wa zaman namun ketentuan
yang mendetail tentang syarat rukun nikah menjadi kajian ilmu fiqh islam yang
mana fiqh merupakan hasil ijtihad dari mujtahid baik persorangan ataupun secara
bersama
Kedua: Perilaku
pernikahan sirri di Indonesia setelah diterapkannya Undang Undang nomor 1 tahun
1974 menimbulkan ketidak pastian hukum bagi keturunannya ataupun wanita yang
dinikahi secara sirri, Pernikahan sirri telah menimbulkan kerancauan dalam
administrasi kependudukan yang telah datur oelh pemerintah, dan pada saat yang
sama tujuan dari syariat islam adalah dalam rangka merealisasikan kemaslahatan
dan menjauhi kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ad dahlawi, Ahmad Bin abdur Rahim ad Dahlawi, 1404 H: “Al Insof”
Beirut, dar an nafais
Al Anshori, Zakariya al Anshori.:2000: “Asnal matholib fii
syharh ar Roudhut at Tholib”. Beirut, Dar al Kutub al ilmiah.
Al baihaqi, Ahmad Bin hasan Bin ali bin Musa abu bakar al baihaqi:
1944: Sunan Al baihaqi al Kubro, Makah Al Mukaromah dar al baz
Al Bukhori, Abu Abdillah bin Isma’il al Bukhori:tt: “Shahih al
Bukhori: Nur Asia
Al Khalaf, Muhammad Abdul wahab al Kholaf: 1956: ilmu ushul fiqh , Maktabah ad Da’wah
al Islamiyah.
Al Mawardi, Abu al Hasan al mawardi: tt: Al Hawi al Kabir . Beirut, Dar ansar /
Dar al Fikri.
An Nasai, Ahamad Bin Syua’aib Abu Abdur Rohman An nasa’i: 1991: ”Sunan
an Nasa’i al Kubro. Beirut: dar
alkutub al Ilmiah
As Suyuti, Jalaluddin Bin Abdur Rohman bin Abu bakar As Suyuti: tt:
Al Asybah Wa An Nadhoir fil Furu’” Dar
Ihya al Kutub al Arabiayah Indonesia.
At Taqyuddin Bin Abu bakar: tt.
Kifayah al Akhyar fi Halli Ghayah al ikhtishar. Darul Ihyaul
Kutub al Arabiyah indonesia
Ath Thufi, Najmuddin
Afh Thufi:1993;Risalah fi ri’ayati Maslahah. Ad durar al Misriyah
al Lubnaniyah
Basyir, Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta:UII Press.1977)
Daud Ali, Mohammad Daud Ali: 2006: Hukum Islam, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada Jakarta.
Ibnu majah, Muhammad Bin yazid Abu Abdullah al Qozwaini: tt: Sunan
Ibnu Majah, Beirut darul Fikri
Kompilasi Hukum Islam (KHI) (PDF)
Munawir, Ahmad Warsun Munawir:tt, Kamus Bahasa Arab – Indonesia, versi
windjview
Muslim, Abu al Husain Muslim Bin Hajjaj Bin Muslim al Qusyaeri an
Naisaburi: tt: Shohih Muslim,
Beirut Dar al afaq al jadidah
Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah (PDF)
Setiawan, Ebta Setiawan: 2010: “Kamus Besar Bahasa Indonesia” versi
offline dengan mengacu pada data dari KBBI Daring diambil dari Pusat Bahasa
Dinas Pendidikan Nasional
Syarifuddin, Amir
Syarifuddin: 2007: Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Kencana Jakarta
Syihab, Quraish Shihab: 2007. “Wawasan Al-Qur’an”.( Bandung. Mizan.
2007)
Undang Undang Dasar 1945 yang dilengkapi Amandemen (PDF)
Undang - Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang tentang perkawianan
(PDF)
Wahbah al Zuhaily: 1989: Al-Fiqh
al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikri
A.
Yasid:
2012: Logika Induktif dan Deduktif dalam tradisi pemikiran ushul Fiqh, Asy
Syir’ah, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum. Vol 46 No. I Januari – Juni 2012
Zahroh, Muhammad Abu Zahroh: 1958:, Ushul Fiqh, Darul Fikri
al Arobi
Zaiunudin Bin Abdul Aziz: tt. Fathul Mu’in bi syharh qurotul ‘ain Surabaya, Imarotullah.
As salami, Iyadz bin Nami asalami: tt: ushul al fiqh alladzi la yasi’u al faqih
jahluh, Fakultas Syari’ah Riyadl
As Saidan, walid Bin Yusuf as saidan:tt: Talqih al afham al Ulya bi syarh al qawaid
al fiqhiyyah:
Muhammad Sholih al Atsuimaini: tt: Mulahis al Qowaid al
Fiqhiyyah: Iskandariyah, Dar al Atsar
والأصل أن الأمر
والنهي حتم * إلا إذا الندب أو الكره علم
Pada asalnya Amar dan nahi adalah perintah wajib,
kecuali diketahui untuk arti sunah atupun makruh (Mulahis al qawaid al
Fiqhiyah:
“ (ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب) : أي
أن جميع الأشياء التي يتوقف عليه تحقق الواجب وصحته فهي واجبة إن كانت داخلة قدرة
الإنسان وكان مأمورًا بتحصيلها
[4] Terjemahan
diatas adalah terjemahan dari hadits فإذا أمرتكم بشيء فأتُوا منه ما اسْتَطَعْتُم وإذا نَهَيتُكم عن شيءٍ فدَعُوْهُ , dan hadits ini banyak terdapat dalam kitab kitab hadits diantaranya
adalah al baihaqi (No. 1471), Ibnu Majah (no.2) Shohih Muslim (no.3321)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar