FIQH MUNAKAHAT



NIKAH HAMIL DAN NASAB ANAK
1.      ARTI KATA NIKAH
           Kata Nikah secara laksikalnya berarti "berkumpul" sedangkan dalam istilah kurang lebihnya berarti "suatu akad yang dilakukan oleh wali nikah (ijab) dan diwab oleh calon suami (kabul) dengan maksud untuk menghalalkan seorang wanita (yang dalam perwaliannya) kepada  seseorang laki laki yang menjadi pilihanyam namun dalam bahasa arab suatu kata mesti menpunyai 2 ma'na yaitu ma'na hakiki dan ma'na majazi. disinilah letak perbedaan ulama dalam memahami arti hakiki nikah yang perbedaan ini akhirnya membawa perbedaan yang terkadang bertolak belakang baik dalam fiqh munakahat ataupun dalam perindang undangan


           Ulama' Syafiiyah mengartikan nikah dengan Akad (yang penting terjadi akad atau tidak) sedangkan ulama' Hanafiyah mengartikan Nikah dengan hubungan kelamin. perbedaan ini manjadi kentara sekali dalam memahami ayah   ولا تنكحوا  ما نكح أبأؤكم "dan jangalah engkau menikahi wanita yang telah diniklah oleh ayahmu "dalam pandang ulama' Syafi'iyah yang dilarang adalah wanita yang pernah diakad nikahi oleh sang ayah sedangkan yang kumpuli lewat zina maka tidak terken larangan pada ayat ini, sedangkan dalam ulama' Hanafiyah mengartikan bahwa wanita yang dilarang dinikahi adalah wanita yang pernah dikumpulioleh sang ayaha walaupun lewat zina tetap tidak boleh dinikah
  1.          HUKUM NIKAH HAMIL
         Ulama' Hanafiyah dan Syafi'yah membedakan antara perawan hamil dengan janda hamil, seorang perawan yang Hamil tidak mempunyai iddah karenanya  seorang perawan yang hamil boleh dinikahkan dengan seorang laki laki yang bukan muhrinya, Sedangkan seorang janda hamil tidak boleh menikah sampai melahirkan. Pernikahan bagi wanita hamil akan berimplikasi hukum terhadap anak yang dilahirkanya, apakahan anak yang lahir dari nikah hamil tersebut bisa intisab kepada ayahdan ibunya? atau hanya beritisab kepada ibunya saja? dalam kasus menikahi wanita hamil kedua Ulama' sepakat bahwa boleh menikahi wanita hamil (kajian ini berarti akan menafikan pendapat dari Ulama hanabilah dan Ulama' malikiyaf atupun Malikiyah yang melarang menikahi wanita hamil . Menurut keduanya setiap wanita yang hamil maka berlaku baginya masa iddah)
         Kebolehan menikahi hamil inipun didukung oleh perundang undangan yang ada di Indonesia pada KHI Pasal 53 " (1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.  (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
  1.              INTISABUL WALAD
            Anak yang dilahir dari kasus nikah/ kawin Hamil ini dalam kenyataanya seringkali dijumpai dalam masyarakat kita,  dan perlakuan KUA dalam menetukan kenasaban anaknya berbeda beda(ini bisa dilahat dari siapakah yang menjadi wali nikah bagi anak tersebut saat pernikahanya), sebagian KUA Menerapkan ketentuan Intisabul walad yang mengacu pada ketentuan usia kehamilan wanita tersebut , apabila usia kehamilan  kurang dari 6 Bulan sejak terjadinya nikah sampai kelahiran, maka ayahnya tidak bisa menjadi wali nikah bagi anak perempuanya.  Hitungan masa mengandung 6 bulan ini merujuk pada pendapat Ibnu Abbas yang ketika itu berselisih pendapat dengan Usman Bin Affan tentang pengaduan seseorang yang  istrinya melahirkan diusia 6 bulan kandunganya, ketika Usman hendak merajamnya lalu  ibnu abas pun menyamapiakn pendapatnya dengan  mendasarkan pada nash yang mengatakan “ masa kehamilan dan masa menyusui adalah 30 bulan dan “ masa menyusui adalah 2 tahun ( 24 bulan)” maka sisanya adalah masa mengadung yaitu 6 bulan, maka 6 bulan menjadi batasan seorang bayi bisa hidup setelah dilahirkan, lalu pendapat ibnu abas ini menjadi kesepakatan diatara mereka (al Mawardi , al hāwi al kabīr ,XI, 461sedangkan KUA  yang lain tidak mengaitkan kapan seseorang itu mengadung tapi kapan seorang anak itu lahir dan dalam ketentuan anak yang sah sebagaimana dalam Pasal  43 UU no1 tahun 1974 dan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam secara jelas memberikan batasan tentang anak sah yaitu :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; 
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Di sinilah muncul adanya ketegangan hukum perundang undangan dengan Fiqh yang berlaku di Masyarakat dan seorang PPN dituntut untuk bersikap bijaksana karena Undang undang dibuat dalam rangka memberikan kepastian hukum dan Fungsi Pemerintah adalah dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada seluruh warga negara (dalam kaidah ushuliyah dinyatakan "Tashoruful a'immah manutun bimaslahati ru'iyah (kebijakan pemerintah selalu dikaitkan dengan kemaslahatan masyarakat) lalu apakah Undang Undang dan KHI ini tidak bertentangan dengan Syari'at islam?
UNDANG - UNDANG TIDAK TERIKAT MADZHAB TERTENTU
ketentuan nikah hamil yang ada dalam undang undang tidak kontradiksi dengan fiqh Syafi'iyah ini dimaklumi, namun ada satu klausul yang mengganggu yaitu pada kata "Wanita yang hamil diluar  nikah bisa dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya, lalu bagaimana bila ada seorang laki yang menikah dengan wanita hamil tapi bukan yang menghamilinya? bagaimana menurut Undang Undang tersebut ? sebagian Pengadilan Agama memberikan penafsiran adanya Mafhum Mukholafah pada pasal tersebut maka apabila bukan yang menghamilinya tidak diperbolehkan, tetapi sebagai PA yang lain dalam pasal tersebut tidak ada Mafhum Mukholafahnya artinya kata "bisa" bukan merupakan keharusan ini juga berarti boleh juga bila yang bukan menghamilinya dengan syarat lelaki tersebut akan mengakui anak yang lahir sebagai anak kandungnya dan pendapat ini sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Fiqh Syafiyah seperti dalam kitab  Bughyah al Mustasidin Hal. 419dlm maktabah Shamila   يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة Menikahi wanita hamil itu baleh bagi yang mengahamilinya atu tidak, dan mengumpulinya (bagi yang bukan menghamilinya) adalah makruh.
pada kasus anak yang lahir dari nikah hamil ini sebagaimana diatur pada anak yang sah juga  terjadi perbedaan dan persamaan dalam Fiqh munakahat, pada Fiqh Syafi'yah  menerapkan ketentuan masa Kehamilan bila kurang dari 6 Bulan maka tidak bisa intisab kepada ayahnya tapi bila 6 bulan atau lebih maka bisa intisab kepada ayah dan ibunya (kajian ini sudah maklum dalam fiqh syafi'iyah), namun menurut beberapa ulama lainya dinyatakan bahwa :
فقد روى علي بن عاصم عن أبي حنيفة أنه قال: "لا أرى بأسًا إذا زنا الرجل بالمرأة فحملت منه أن يتزوجها مع حملها، ويستر عليها، والولد ولد له"، وهو قول الحسن البصري، وابن سيرين، والنخعي، وإسحاق ابن راهويه، وابن تيمية، وابن القيم(حكم نسبة المولود إلى أبيه من المدخول بها قبل العقد للدكتور عبد العزيز الفوزان)   
Wallahu a'lam bi showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JADWAL NIKAH KUA KANGKUNG KAB. KENDAL

Waktu Sholat